Friday 22 November 2013

Macam-macam Dengan Indonesia, Ekonomi Australia Terancam




Australia sebaiknya tidak usah macam-macam jika berhadapan dengan Indonesia. Pasalnya, laju perekonomian di Negeri Kangguru itu bergantung banyak pada negara ini.
Menurut Tim Harcout, ahli ekonomi di Australian School of Business, nilai perdagangan Australia dengan Indonesia mencapai lebih dari US$14 miliar (Rp163 triliun), terdiri dari US$11,1 miliar (Rp129 triliun) di perdagangan barang dan US$3,3 miliar (Rp38,6 trilun) di bidang jasa.

Oleh warga Australia, kerja sama kedua negara biasanya hanya dikenal soal "kapal (imigran gelap), daging sapi dan Bali". Namun Harcourt mengatakan, sapi hanyalah satu dari 12 kerja sama dagang utama kedua negara.

"Ada kerja sama yang kuat di bidang agribisnis, infrastruktur, konstruksi, pendidikan dan layanan profesional, seperti ANZ, Commonwealth Bank, Leighton, Orica, dan TAFE, itu hanya sebagian kecil," kata Harcout kepada News.com.au, Kamis 21 November 2013.

Lebih dari 2.500 perusahaan Australia mengekspor ke Indonesia. Sebanyak 150 di antaranya bermarkas di negara ini. Akibat perseteruan ini, lanjutnya, ekspor Australia yang menyumbang 60 persen dari ekonomi negara akan merugi.

"Ekspor memberikan upah besar. Jika kita kehilangan mitra dagang utama ini, maka kesempatannya semakin kecil untuk upah yang lebih baik, bisa merusak harapan kita. Jika masalah ini semakin serius, akan mempengaruhi kesejahteraan perusahaan atau bank besar," sambung Harcout lagi.

Harcout mengatakan, perusahaan Australia yang investasi di Indonesia untung 40 persen lebih besar ketimbang di India atau China. Perekonomian Indonesia diprediksi meningkat enam persen dalam dua tahun ke depan, permintaan produk Australia juga akan meningkat.

Menurut data Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia, perekonomian Indonesia (DFAT) kini yang terbesar di Asia Tenggara dan negara keempat dengan populasi terbesar di dunia.

Selain itu, data DFAT menunjukkan, Indonesia diprediksi jadi salah satu dari 10 negara ekonomi terbesar dunia pada 2025 dengan GDP mencapai US$1 triliun. Kelas menengah di negara ini juga meningkat 30 juta dalam 10 tahun terakhir, menjadi lebih dari 45 juta. Diperkirakan pada 2030, jumlahnya mencapai 130 juta.

"Mereka perlu kita untuk ketahanan pangan dan energi, dan kita perlu mereka seperti kita perlu mitra dagang lainnya di ASEAN. Jika kita kehilangan Indonesia, kita akan kehilangan ASEAN," jelas Harcout.

No comments:

Post a Comment